WARO’

Bagikan :

Makna Waro

Munawi berkata, “Menurut sebagian ulama, waro’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang membuat anda ragu, menepis segala sesuatu yang dapat menodai anda, memilih hal yang lebih meyakinkan, dan menggiring nafsu kepada hal-hal yang berat untuk dikerjakan. Ada juga yang mendefinisikan, “Meninggalkan hal-hal yang lumrah (tidak berbahaya) supaya berhati-hati terhadap hal-hal yang membahayakan.”

Ragib Ashfahani membagi waro’ menjadi tiga tingkatan; (1) Wajib, yakni meninggalkan semua perkara yang diharamkan. (2) Mandub (dianjurkan), yakni menjauhi semua perkara syubhat, (3) Fadhilah (keutamaan), yakni mencegah diri dari mengambil hal-hal mubah terlalu banyak dan mencukupkan kepada kebutuhan pokok yang sangat minim.

Keuntungan Sikap Waro’

Keuntungan bersikap waro’ sangatlah banyak. Akan tetapi, cukup bagi kita untuk mengetahui sebagiannya. Waro’ merupakan penyebab dominan yang dapat menjauhkan seorang hamba dari perkara haram. Karena itu, ia termasuk salah satu sebab dikabulkannya doa. la juga salah satu sebab bertambahnya iman di dalam hati seorang hamba. Bahkan, lebih dari itu, ia bisa dikatakan sebagai sebab ketenangan pikiran, kelapangan dada, dan ketenteraman pikiran. Apabila etika yang luhur ini menyebar dalam suatu masyarakat, maka ia akan menjadi faktor bersih dan damainya masyarakat tersebut. Keuntungan paling agung dari etika ini adalah bahwa pelakunya akan mendapatkan cinta Alloh dan semua manusia yang ada di sekitarnya.

Setiap pribadi mukmin, sejatinya mampu untuk bersikap waro’ dalam setiap gerak dan diamnya. Semestinya juga dia menjadikan semua anggota tubuhnya (seperti; pandangan, pendengaran, perut, kemaluan, lisan dan lain-lain) dapat berinteraksi dengan akhlak yang luhur ini.

Perkara Pandangan

Waro’ pandangan. Anas bin Malik berkata, “Apabila ada seorang perempuan yang lewat di depanmu, pejamkanlah kedua matamu, hingga dia berlalu dari hadapanmu.”

Maksud dari perkataan Anas ini adalah hendaknya seorang hamba bersikap waro’ pada matanya, dengan cara tidak memandang kepada perempuan yang bukan mahram.

Perkara Pendengaran

Waro’ pendengaran. Nafi’, budak Ibnu Umar, meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah mendengar suara seruling seorang penggembala. Dia pun menutup kedua telinganya dengan jarinya dan menyingkirkan binatang tunggangannya dari jalan. Lalu dia berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu mendengar suara itu?” Nafi’ menjawab, “Ya.” Namun, dia terus saja berjalan hingga Nafi’ mengatakan kepadanya, “Tidak.” Saat itu dia baru mau membuka telinganya dan menarik kembali binatang tunggangannya ke jalan. Lalu berkata, “Aku pernah melihat Rosululloh Sholallohu ‘alaii Wassalam mendengar suara seruling seorang penggembala, lalu beliau melakukan seperti yang aku lakukan tadi.” (HR. Ahmad; hadits sahih)

Perkara Perut

Waro’ perut. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam menyebutkan kisah seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan rambut acak-acakan dan tertutup debu, lalu dia mengangkat tangannya ke arah langit seraya berkata, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,” sedangkan makanannya adalah makanan haram, minumannya adalah minuman haram, pakaiannya adalah pakaian haram, dan ia memberi makan dengan cara yang haram. Lalu, bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan? (HR. Muslim)

Perkara Kemaluan

Waro’ kemaluan. Hal ini dapat dilakukan oleh seorang muslim dengan cara menjaga kemaluannya dari hal-hal yang dapat memancing libidonya dan dari semua perkara yang dapat membuat Alloh murka. Begitu juga, dengan cara tidak menyentuh kemaluannya, kecuali ada kebutuhan syar’i, seperti buang hajat, cebok (istinja’), pengobatan, atau kebutuhan syar’i yang lain.

Perkara Lisan

Waro’ lisan dilakukan dengan cara menyibukkan diri dengan aib diri Anda sendiri. Dengan kata lain, janganlah Anda menyebut-nyebut kejelekan orang lain. Selanjutnya, hal itu bisa dipraktikkan juga dengan cara menjaga lisan dari berbohong, gibah, namimah, berkata sia-sia, dan semua perbincangan lain yang walaupun tidak menjauhkan diri Anda dari Alloh, tapi juga tidak mendekatkan diri Anda kepada-Nya.

Ibrahim bin Basyar mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham pernah ditanya, “Dengan apa waro’ itu bisa sempurna?” Ibrahim menjawab, “Dengan cara menyamakan semua makhluk di dalam hatimu dan dengan menyibukkan dirimu dengan dosamu sendiri agar tidak memikirkan aib mereka. Selain itu, hendaknya kamu senantiasa berkata baik yang bersumber dari hati yang tunduk kepada Tuhan yang Mahaagung. Berpikirlah tentang dosamu sendiri dan bertobatlah kepada Tuhanmu, niscaya hal itu akan membuahkan sikap waro’ di dalam hatimu. Hentikan rasa tamak kecuali kepada Tuhanmu.”

Himpunan Waro’

Imam Ibnu Qayyim berkata, “Rosululloh telah menghimpun semua bentuk waro’ dalam satu kalimat, yaitu dalam sabdanya,

مِنْ ‌حُسْنِ ‌إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Salah satu (tanda) baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah; hadits sahih)

Hadits ini merupakan hadits yang umum yang mencakup semua tindakan meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting. Misalnya, berbicara, memandang, mendengar, menyerang, berjalan, berpikir, dan semua bentuk tindakan, baik zahir maupun batin. Singkat kata, hadits di atas mencakup semua tindakan waro’.”

Rosululloh Sholalohu ‘alaihi Wassalam menganjurkan umat beliau untuk bersikap waro’. Beliau bersabda, “Keutamaan ilmu lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah, dan akhlak yang terbaik dalam agama kalian adalah wara’. (HR. Bazzar dan Ahmad; hadits sahih)

Hasan bin Ali meriwayatkan, “Aku hafal wasiat dari Rosululloh Sholalohu ‘alaihi Wassalam: “Tinggalkanlah apa-apa yang membuatmu ragu pada apa-apa yang tidak membuatmu ragu. Hal itu karena, sungguh, kejujuran adalah sebuah ketenangan dan kebohongan adalah sebuah keraguan. ” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hadits sahih)

Teladan Waro’

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam adalah contoh, teladan, dan idola yang dapat diteladani dalam bersikap waro’.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Hasan bin Ali, cucu Rosululloh Sholallohu ‘alaii Wassalam, mengambil sebutir kurma zakat, lantas dia meletakkannya di mulutnya. Lalu Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam bersabda kepadanya dengan bahasa Persia, “Cukup! Tidakkah kamu tahu bahwa kita tidak boleh makan (harta) sedekah (zakat).” (HR. Bukhori dan Muslim)

Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Sungguh, bila aku pulang menemui keluargaku, lalu aku mendapati sebutir kurma jatuh di tempat tidurku, kemudian aku memungutnya untuk memakannya, lalu aku khawatir kurma itu adalah sedekah (zakat), maka aku akan melemparkannya saat itu juga. ” (HR. Bukhori dan Muslim)

Seorang hamba akan memetik buah waro’ di dunia dan akhirat secara sekaligus. Berkenaan dengan ini, Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam menjelaskan keuntungan waro’ melalui salah satu kisah bani Israel yang konon benar-benar terjadi, dan beliau mengetahuinya melalui wahyu. Beliau bersabda,

“Dahulu kala ada seorang laki-laki yang membeli tanah dari laki-laki lain. Tanpa disangka pembeli tanah tersebut menemukan guci berisi emas. Lalu, si pembeli itu berkata kepada penjual tanah, ‘Ambillah emasmu ini dariku! Aku hanya membeli tanahmu dan tidak membeli emas. ‘Si penjual tanah pun berkata padanya, ‘Aku menjual tanah itu dengan segala isinya. ‘Kemudian, keduanya sepakat berperkara kepada seorang laki-laki. Lalu, laki-laki yang dijadikan tempat mereka berperkara, bertanya, ‘Apakah kalian berdua memiliki keturunan?’ Salah satu dari mereka menjawab, Aku memiliki seorang putra. ‘Dan laki-laki yang lain berkata, ‘Aku memiliki seorang putri. ‘Kemudian, laki-laki tadi berkata, ‘Nikahkanlah anak laki-laki itu dengan si gadis, dan infakkanlah sebagian emas itu (untuk keperluan) mereka berdua, dan bersedekahlah kalian (dari sebagiannya). “‘ (HR. Bukhori dan Muslim)

Ikut Partisipasi Mendukung Program, Salurkan Donasi Anda di Sini!

Kategori
WhatsApp chat

Assalamualaikum,..

Sahabat shalih/shaliha bantu para santri untuk bisa menghafal al-Qur’an yuk, dengan bersedekah di program

Beasiswa untuk Santri Penghafal Al-Qur'an