MALU DENGAN MALU TERPUJI

Bagikan :

Malu dengan Malu Terpuji – Al-Jurjani berpendapat bahwa rasa malu adalah tertekannya jiwa dari sesuatu dan berusaha meninggalkan sesuatu itu sebagai bentuk kewaspadaan dari celaan.  Ada juga yang mengatakan bahwa malu adalah perangai yang dapat mendorong seseorang untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan mencegah seseorang dari kelengahan dalam memenuhi hak siapa pun yang memiliki hak.

Ibnu Qayyim berkata, “Kata al-Haya’u yang bermakna ‘malu’ diambil dari kata al-Hayah, yakni ‘kehidupan’. Hal tersebut bermakna sejauh mana hati itu hidup, sejauh itu pula kekuatan malu bersemayam di hati. Kurangnya rasa malu adalah indikasi matinya hati dan roh. Setiap kali hati menjadi lebih hidup, saat itu pula rasa malu akan menjadi lebih sempurna.”

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam memerintahkan kepada kita untuk malu kepada Alloh Ta’ala. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Malulah kalian kepada Alloh dengan sebenar-benarnya malu. Barangsiapa yang benar-benar malu kepada Alloh, maka jagalah kepalanya dan semua yang dikandungnya (seperti telinga, mulut, dan mata), jagalah perut dan semua yang berhubungan dengan-nya (seperti kemaluan, dua tangan, dua kaki, dan hati), serta ingatlah kematian dan kehancuran (tulangnya di kuburan). Siapa pun yang menginginkan akhirat, niscaya dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa melakukan semua itu maka dia telah malu kepada Alloh dengan sebenar-benarnya malu. (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hadits hasan)

Malu adalah etika yang disukai oleh Alloh. Abdurrahman bin Abu Bakrah meriwayatkan bahwa Asyaj bin Ashar berkata kepadanya, “Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam bersabda kepadaku, ‘Sesungguhnya ada dua perangai di dalam dirimu yang disukai Alloh.’ Aku bertanya kepada Rosululloh Sholallohu ‘alai Wassalam, ‘ Apa saja dua perangai itu, wahai Rosululloh Sholallohu ‘alai Wassalam?’ Beliau menjawab, ‘Murah hati (lemah lembut) dan sifat malu. ‘ Aku pun bertanya lagi kepada beliau, ‘Apakah kedua perangai itu ada sudah lama atau baru-baru saja, wahai Rosululloh Sholallohu ‘alai Wassalam?’ Beliau menjawab, ‘Sudah lama.’ Kemudian Asyaj berkata, “Segala puji bagi Alloh yang telah menciptakan aku dengan memiliki dua perangai yang keduanya la sukai.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad; hadits sahih)

Malu adalah kunci untuk semua kebaikan. Ibnu Qayyim mengungkapkan bahwa malu adalah salah satu akhlak yang utama,

berkedudukan paling agung, luhur, dan paling banyak mendatangkan manfaat. Malu merupakan ciri khas manusia. Karena itu, jika kita tidak memiliki rasa malu sama artinya kita tidak memiliki ciri khas manusia yang membedakannya dengan hewan.

Kita dapat dianggap tidak memiliki kebaikan sedikit pun jika tidak memiliki akhlak ini. Jika tida ada malu, niscaya tidak akan ada tamu yang dimuliakan, janji yang ditepati, amanah yang ditunaikan, kebutuhan seorang pun yang dipenuhi, keindahan untuk diikuti, perbuatan keji yang ditinggalkan, dan orang yang menutupi auramya.

Rasa malu yang ada pada diri seseorang membuatnya menunaikan kewajibannya, memenuhi hak orang lain, menyambung silaturahmi, dan berbuat baik kepada orang tua. Rasa malu yang tertanam kuat dalam diri seseorang membuatnya melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk. Rasa malu itu, baik kepada sang Khalik atau kepada makhluk.

Maksiat adalah penyebab hilangnya rasa malu. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa salah satu akibat kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu yang merupakan sifat yang dapat menghidupkan hati dan fondasi setiap kebaikan. Hilangnya rasa malu berarti hilangnya semua kebaikan, sedangkan di dalam sebuah hadits dikatakan, “Rasa malu semuanya adalah kebaikan. “

Perbuatan dosa dapat melemahkan rasa malu yang ada pada diri seorang harnba. Kemaksiatan bahkan dapat membuat seorang hamba berlepas diri dari rasa malu secara total sehingga dia tidak merasa bahwa orang-orang sudah mengetahui keburukannya. Dia juga tidak terpengaruh dengan perhatian orang terhadap dirinya. Bahkan, kebanyakan dari mereka dengan bangga memberitahukan kondisi dan perbuatan buruknya. Hal yang mendorongnya melakukan hal itu adalah karena dia telah berlepas diri dari rasa malu. Apabila keadaan seorang hamba sudah seperti ini, tidak ada lagi kebaikan yang dapat diharapkan dari dirinya. Jika Iblis melihamya masih hidup, dia akan berkata, “Aku telah berhasil menjalankan misiku.”

Peringatan Nabi Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam tentang rasa malu. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Rasa malu adalah bagian dari keimanan. (HR. Bukhori dan Muslim)

Ibnu Atsir berkomentar tentang hadits ini, dia mengatakan bahwa penyebab malu dijadikan sebagai bagian dari keimanan karena keimanan dibagi menjadi dua bagian, yakni melakukan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya. Apabila seorang hamba sudah bisa meninggalkan larangan Alloh karena rasa malu yang ada pada dirinya maka pada saat itulah malu menjadi bagian dari keimanan.

Rosululloh Sholallohu ‘alaii Wassalam bersabda, “Jika kamu tidak memiliki rasa malu, berbuatlah apa yang kamu suka. ” (HR. Bukhori)

Hadits ini memiliki dua penafsiran yang dijelaskan berikut ini, Pertama, Penafsiran yang jelas dan masyhur, yaitu apabila kita tidak malu aib akan terungkap, harga diri akan ternodai karena apa yang kita lakukan, kita bisa mengerjakan semua yang kita inginkan, terlepas hal itu baik atau buruk. Hadits ini menggunakan lafal perintah, padahal maknanya adalah kecaman dan ancaman.

Kedua, Di dalam hadits ini juga mengandung pemberitahuan bahwa rasa malu bisa mencegah manusia dari melakukan keburukan. Jika rasa malu itu lenyap dari manusia, mereka akan melakukan semua bentuk kesesatan dan keburukan.

Lafal perintah tetap sesuai dengan maksud aslinya. Jadi, hadits itu bisa bermakna, jika kita merasa aman dengan apa yang kita lakukan, yakni kita tidak malu karena telah melakukannya sesuai dengan jalan yang dibenarkan dan perbuatan itu bukan perbuatan yang memalukan, kita bisa melakukan apa yang kita sukai.

Ibnu Qayyim berkata, “Jika hadits tersebut dimaknai dengan penafsiran pertama, ia menjadi ancaman sebagaimana firman Alloh, ‘…Lakukanlah apa yang kamu kehendaki!… ‘ (QS. Fushshilat [41]: 40)

Malu yang tercela. Tidak semua rasa malu termasuk akhlak yang terpuji. Dalam Islam terdapat beberapa perkara yang membuat rasa malu menjadi tercela. Salah satu contohnya adalah malu dalam menuntut ilmu sehingga membuatnya menjadi bodoh.

Contoh lainnya seperti pada hadits yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Musayyab, bahwa Abu Musa al-Asy’ari berkata kepada Aisyah, “Sebenarnya saya ingin bertanya sesuatu kepada engkau, tetapi saya malu.” Aisyah menjawab, “Tanyakan saja, kamu tidak perlu malu, saya ini ibumu.” Kemudian Abu Musa bertanya tentang orang yang berhubungan intim, tetapi tidak mengeluarkan sperma. Aisyah pun menyampaikan hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaii Wassalam kepadanya, “Apabila alat kelamin suami sudah terjadi penetrasi pada alat kelamin istri maka keduanya wajib mandi.” (HR. Muslim)

Malu dengan Malu Terpuji

Ikut Partisipasi Mendukung Program, Salurkan Donasi Anda di Sini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori
WhatsApp chat

Assalamualaikum,..

Sahabat shalih/shaliha bantu para santri untuk bisa menghafal al-Qur’an yuk, dengan bersedekah di program

Beasiswa untuk Santri Penghafal Al-Qur'an

× How can I help you?