Berpuasa di awal tahun Islam atau 1 Muharram 1440 Hijriah jatuh pada Selasa, 11 September 2018 dilakukan sebagian umat Islam.
Namun, ada yang masih ragu dengan dalil melaksanakan puasa pada 1 Muharram 1440 H nanti.
Nah, bagaimana dalil melaksanakan puasa pada 1 Muharram?
Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriah. Datangnya bulan Muharram berarti bergantinya tahun Hijriah.
Bulan Muharram diyakini sebagai bulan mulia dan menjadi waktu yang sangat baik untuk meningkatkan amal kebaikan diantaranya berpuasa pada 9 dan 10 Muharram.
Namun, ada pula orang-orang yang berpuasa lebih awal yaitu pada 1 Muharram.
Lantas apa hukum puasa 1 Muharram?
Berikut ini penjelasan dari Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com), seperti dilansir tribun-timur.com dari laman konsultasisyariah.com.
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim 1163)
Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya memperbanyak puasa selama Muharam.
An-Nawawi mengatakan,
تصريح بأنه أفضل الشهور للصوم
”Hadis ini menegaskan bahwa Muharam adalah bulan yang paling utama untuk puasa.” (Syarh Shahih Muslim, 8/55).
Kemudian, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
”Puasa hari Asyura, saya berharap kepada Allah, puasa ini menghapuskan (dosa) setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim 1162).
Dan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan informasi bahwa Puasa Asyura adalah kebiasaan puasa yahudi yang paling agung, beliau bertekad, tahun depan akan puasa tanggal 9 Muharam, agar puasa beliau beda dengan kebiasaan puasa yahudi. (HR. Muslim 1134)
Berdasarkan keterangan di atas, kita sepakat, bahwa dalam puasa Muharam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan hari khusus yang paling istimewa untuk puasa, selain tanggal 9 dan 10 Muharam.
Beliau hanya menganjurkan memperbanyak puasa selama Muharam.
Karena itu, tidak dibenarkan seseorang menyatakan ada anjuran khusus untuk berpuasa tanggal 1 Muharam atau tanggal sekian Muharam, sementara dia tidak memiliki dalil yang mendukung pernyataannya.
Satu prinsip yang penting untuk kita garis bawahi, bahwa satu amal yang sama, bisa jadi memiliki hukum yang berbeda, tergantung dari niat pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kaidah,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
”Sah dan tidaknya amal, bergantung pada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari 1 dan Muslim 1907)
Sebagai contoh, misalnya ada orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain, “Ambillah uang ini!”
Ada tiga kemungkinan akad yang berlangsung dalam kasus ini, (1) jika ia berniat mendermakannya, maka akadnya adalah hibah, (2) Jika tidak berniat berderma, maka akadnya adalah qardh (utang) yang wajib dikembalikan oleh penerima uang, atau (3) akadnya wadi’ah (titipan) yang wajib dijaga oleh penerima.
Bentuknya penyerahan uang, namun hukumnya berbeda karena perbedaan niat saat penyerahan uang itu.
Contoh yang lain, si A melakukan puasa di hari senin tanggal 9 Dzulhijah.
Puasa yang dikerjakan sama, namun status dan nilai puasa itu berbeda tergantung niat orang yang melaksanakannya.
Orang yang melakukan puasa tanggal 1 Muharam, ada 2 kemungkinan niat yang dia miliki.
Pertama, dia berpuasa tanggal 1 Muharam karena motivasi hadis yang menganjurkan memperbanyak puasa di bulan Muharam.
Ini termasuk puasa yang bagus, sesuai sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana penjelasan di atas.
Kedua, dia berpuasa tanggal 1 Muharam karena ’tahun baru’, atau mengawali tahun baru dengan puasa, atau karena keyakinan adanya fadhilah khusus untuk puasa awal tahun, dst.
Dr. Muhammad Ali Farkus – ulama Aljazair – menegaskan,
وجديرٌ بالتنبيه أنَّ شهرَ اللهِ المحرَّم يجوز الصيامُ فيه من غير تخصيص صوم يوم آخرِ العام بنية توديع السَّنَةِ الهجرية القمرية، ولا أول يوم من المحرم بنية افتتاح العام الجديد بالصيام
”Perlu diperhatikan bahwa selama bulan Muharam, dianjurkan memperbanyak puasa. Tidak boleh mengkhususkan hari tertentu dengan puasa pada hari terakhir tutup tahun dalam rangka perpisahan dengan tahun Hijriah sebelumnya atau puasa di hari pertama Muharam dalam rangka membuka tahun baru dengan puasa.” (http://ferkous.com/site/rep/Bg29.php)
Kemudian Dr. Muhammad Ali Farkus menjelaskan hadis yang menganjurkan puasa tutup tahun dan pembukaan tahun baru.
Beliau mengatakan,
ومن خصّص آخر العام وأوَّلَ العام الجديد بالصيام إنما استند على حديثٍ موضوع: «مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ، خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ المُسْتَقْبلَةَبِصَوْمٍ جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً»، وهو حديث مكذوبٌ ومُختلَقٌ على النبي صلى اللهُ عليه وآله وسَلَّم
Orang yang mengkhususkan puasa pada hari terakhir tutup tahun, atau hari pertama tahun baru, mereka dengan hadis palsu:
“Barangsiapa yang puasa pada hari terakhir Dzulhijah dan hari pertama Muharam, berarti dia menutup tahun sebelumnya dan membuka tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasa ini sebagai kaffarah dosanya selama 50 tahun.”
Hadis ini adalah dusta dan kebohongan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis ini terdapat perawi bernama Ahmad bin Abdillah al-Harawi dan Wahb bin Wahb. As-Suyuthi menilai, keduanya perawi pendusta. (al-Lali’ al-Mashnu’ah, 2/92).
Penilaian yang sama juga disampaikan as-Syaukani dalam al-Fawaid al-Majmu’ah (hlm. 96).
Peringatan al-Hafidz Abu Syamah
Banyaknya amalan yang beredar di tengah masyarakat terkait tahun baru Hijriah, menjadi sebab para ulama hadis mengingatkan masyarakat untuk menghindari amalan semacam itu.
Diantaranya al-Hafidz Abu Syamah (w. 665 H), seorang ahli sejarah dan ahli hadis dari Damaskus.
Dalam kitabnya al-Bahis ’ala Inkar al-Bida’, beliau menegaskan bahwa berbagai hadis yang menyebutkan keutamaan amalan di akhir tahun atau awal tahun, semuanya hadis yang sama sekali tidak ada dalam kitab hadis (la ashla lahu).
Dan derajat ini, lebih parah dari pada hadis palsu.
Beliau mengatakan,
ولم يأت شيءٌ في أول ليلة المحرم، وقد فَتَّشْتُ فيما نقل من الآثار صحيحًا وضعيفًا، وفي الأحاديث الموضوعة فلم أر أحدًا ذكر فيها شيئًا، وإني لأتخوّف -والعياذ بالله- من مفترٍ يختلق فيها حديثًا
”Tidak ada riwayat apapun yang menyebutkan keutamaan malam pertama Muharam. Saya telah meneliti berbagai riwayat dalam kitab kumpulan hadis yang shahih maupun yang dhaif atau dalam kumpulan hadis-hadis palsu, namun aku tidak menjumpai seorangpun yang menyebutkan hadis itu. Saya khawatir – wal iyadzu billah – hadis ini berasal dari pemalsu, yang membuat hadis palsu terkait tahun baru.”(al-Bahis ’ala Inkar al-Bida’ wa al-Hawadits, hlm. 77)