Muru’ah – Ada banyak sekali akhlak mulia yang dianjurkan oleh Islam. Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan pengikat pun menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu simpul pengikatnya disebut dengan Muru’ah. Apa itu muru’ah? Berikut beberapa poin pembahasan muru’ah;
A. Ibnu Qayyim mengatakan, “Hakikat muru’ah adalah berpegangnya jiwa manusia dengan sifat-sifat kemanusiaan yang menjadikannya berbeda dengan hewan dan setan yang terkutuk. Hal itu karena di dalam jiwa manusia ada tiga pendorong yang saling menarik.
- Pendorong yang mengajak jiwa manusia untuk mengambil akhlak-akhlak setan, seperti takabur, dengki, sombong, melampaui batas, sewenang-wenang, berbuat jahat, berbuat kerusakan, dan menipu.
- Pendorong yang mengajak jiwa manusia untuk mengambil akhlak-akhlak hewan. Ini adalah pendorong syahwat.
- Pendorong yang mengajak jiwa manusia untuk mengambil akhlak-akhlak malaikat, seperti berbuat baik, memberi dan menerima nasihat, taat, serta berilmu.
Muru’ah adalah membenci dua pendorong yang pertama dan memenuhi ajakan pendorong yang ketiga. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa muru’ah adalah kemenangan akal atas syahwat. Sementara itu, para ahli fiqih mendefinisikan muru’ah dengan, ‘Berbuat sesuatu untuk memperindah diri serta meninggalkan sesuatu yang mengotorinya dan memperburuknya, baik perbuatan itu berkaitan dengan dirinya sendiri maupun berkaitan dengan orang lain.’”
B. Muru’ah segala sesuatu memiliki ukuran tersendiri. Muru’ah lisan adalah dengan tutur kata yang manis, baik, dan lemah lembut. Muru’ah akhlak adalah akhlak baik kepada orang yang disukai ataupun kepada orang yang dibenci. Muru’ah harta adalah mendistribusikannya secara tepat ke tempat-tempat yang terpuji menurut syara’, akal, dan adat. Muru’ah jabatan adalah memberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Muru’ah pemberian adalah menyerahkannya dengan cepat, mudah, dan sempurna serta melupakannya setelah diterima oleh pihak yang menerima.
C. Muru’ah terhadap diri sendiri adalah membawa diri secara paksa kepada perkara yang memperindah lalu menghiasinya, serta meninggalkan perkara yang memperburuk dan menimbulkan cacat kepadanya. Hal itu agar menjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Barangsiapa yang menginginkan sesuatu dalam rahasia dan kesendiriannya, hendaklah ia mempertimbangkannya ketika ia melakukannya secara terang-terangan. Hendaklah ia tidak membuka auratnya ketika dalam keadaan sendiri dan tidak menimbulkan suara gaduh. Inti dari itu, ketika dalam keadaan sepi, hendaklah seseorang jangan melakukan perkara yang memalukan, kecuali perkara yang tidak dilarang syara’ dan akal serta perkara itu hanya dilakukan ketika dalam keadaan sepi, misalnya bersetubuh, buang air besar, dan sebagainya.
D. Muru’ah kepada orang lain diperoleh dengan menjaga kesopanan, rasa malu, akhlak yang mulia, dan tidak memperlihatkan perkara yang ia benci kepada mereka. Hendaklah ia menjadikan orang lain sebagai cermin untuk dirinya. Karena itu, setiap perkara yang tidak ia senangi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun akhlak, hendaklah ia menjauhinya. Sebaliknya, setiap perkara yang ia sukai dari perkara-perkara tersebut, hendaklah ia melakukannya.
E. Muru’ah kepada Alloh Ta’ala diperoleh dengan merasa malu kepada-Nya karena Dia selalu memandang dan mengawasi gerak gerikmu. Selain itu, ia harus memperbaiki dirinya semampu mungkin. Sesungguhnya Dia telah membeli dirimu, serta kamu sedang berusaha untuk menyerahkan barang yang kamu jual dan menerima harganya. Karena itu, tidak termasuk muru’ah jika kamu menyerahkannya dalam keadaan cacat.
F. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi Wassalam adalah potret dari muru’ah yang sempurna karena akhlak beliau adalah Al-Qur’an.
Qadhi Iyadh mengatakan, “Di antara muru’ah Nabi Sholallohu ‘alaihi Wassalam adalah beliau melarang seseorang untuk meniup makanan dan minuman, memerintahkan untuk mengonsumsi makanan yang dekat, memerintahkan untuk bersiwak, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan fitrah.”
G. Beberapa perkara yang merusak muru’ah adalah:
- Mengikuti hawa nafsu.
Ibnu Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya orang yang paling banyak muru’ahnya adalah orang yang paling banyak menahan hawa nafsunya.”
- Mengeluarkan kentut dengan suara, padahal ia mampu untuk tidak menyuarakannya.
Abdullah bin Zam’ah rodiyallohu’anhu meriwayatkan bahwa ia mendengar Rosululloh Sholallohu ‘alai Wassalam berkhotbah. Kemudian beliau memberikan nasihat kepada para sahabat tentang menertawakan kentut. Beliau bersabda, “Mengapa salah seorang di antara kalian menertawakan apa yang ia lakukan (kentut)?” (HR. Bukhori)
Di dalam kitab Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim memasukannya sebagai bagian dari perkara-perkara yang merusak muru’ah.
- Mempekerjakan tamu.
Abdul Aziz bin Umar berkata, “Raja bin Haiwah berkata kepadaku, ‘Betapa sempurnanya muru’ah ayahmu! Aku pernah begadang bersamanya. Ketika itu lampu menjadi padam, sementara pembantunya sedang tertidur. Aku berkata, ‘Apakah aku boleh membangunkannya?’ la berkata, ‘Tidak usah, biarkanlah ia.’ Aku berkata, ‘Kalau begitu aku yang membereskannya.’ la berkata, ‘Jangan, mempekerjakan tamu adalah bertentangan dengan muru’ah.’ la mengambil minyak, lalu menyalakan lampu. la kembali lagi kepadaku dan berkata, ‘ Aku berdiri dan aku adalah Umar bin Abdul Aziz, lalu aku kembali dan aku adalah Umar bin Abdul Aziz.
- Melakukan hinaan kepada manusia dan menyiarkan mereka atas hal itu.
Di dalam ‘Uyünul-Akhbar disebutkan, “Sesungguhnya kamu menunjukkan banyaknya cacatmu dengan banyaknya kamu mencela manusia. Hal itu karena orang yang mencari cacat orang lain sebenarnya mencari cacat yang ada di dalam dirinya.’”
Berlebih-lebihan dalam mencela orang lain atau mengkritiknya akan membuat seseorang lupa akan cacat dan kelemahan diri sendiri.
- Membiasakan buang air kecil dalam keadaan berdiri.
Imam Sakhawi di dalam Fathul-Mugits mengatakan, “Di antara perkara yang merusak muru’ah adalah buang air kecil dalam keadaan berdiri di jalanan atau dilihat manusia, dan di dalam air yang menetap (tidak mengalir).”
- Bersendawa (mengeluarkan suara dari kerongkongan), padahal sebenarnya ia mampu untuk menahannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seseorang bersendawa di hadapan Nabi Sholallohu ‘alaihi Wassalam, lalu beliau bersabda, “Berhentilah dari bersendawa di depan kami karena sesungguhnya orang yang paling banyak mengalami kekenyangan di dunia adalah orang yang paling lama laparnya pada hari Kiamat. ” (HR. Tirmidzi; hadits sahih)
Ibnu Qayyim menganggap perkara itu sebagai perkara yang merusak muru’ah di dalam kitab Madarij as-Salikin.
- Meminta-minta kepada manusia.
Menurut Ibnu Qudamah, orang yang sebagian besar umurnya dipergunakan untuk meminta-minta atau ia banyak meminta-minta, kesaksiannya tidak diterima karena perbuatannya itu telah menjatuhkan muru’ahnya.
Adalah amat buruk jika seorang manusia meminta-minta kepada manusia lainnya, padahal ia dapat memintanya secara langsung kepada tuannya.
Dalam sebuah hadits, Rosululloh Sholallohu ‘alaii Wassalam bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Ikut Partisipasi Mendukung Program, Salurkan Donasi Anda di Sini!