Ghibah yang artinya menggunjing atau “ngegosip” adalah membicarakan keburukan atau aib orang lain ketika ia tidak ada di sisimu. Alloh ﷻ telah melarang ghībah dan menyerupakannya dengan sesuatu yang sangat buruk, yaitu memakan daging orang mati.
Alloh Ta’ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya….” (QS. al-Hujurot [49]: 12)
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya, “Di dalamnya terdapat larangan melakukakan ghibah.” Beliau juga berkata dalam tafsir ayat ini, “Dan telah ada dalam masalah keharaman ini yaitu ghibah larangan yang sangat keras, dan oleh karena inilah Alloh menyerupakannya dengan memakan daging manusia yang telah mati, sebagaimana firmanNya dalam ayat ini. Maksudnya, “Sebagaimana kalian membenci hal ini (daging mayat) secara tabiat maka bencilah hal tersebut (yaitu ghibah) secara syariat, karena sesungguhnya hukumnya lebih keras dari itu.”
Mengghibah seseorang bisa berlaku pada beberapa hal seperti: kekurangan fisiknya, nasab atau asal usulnya yang kurang terhormat, akhlaknya yang kurang baik, pakaiannya yang kurang bagus, agamanya yang kurang sempurna, dan hal ihwal keduniaannya serta kekurangan lainnya.
Kesimpulannya, apa saja yang bisa dipahami bahwa itu adalah celaan kepada seseorang, maka itu termasuk ghibah, baik dengan ucapan, isyarat, menirukan gerak-gerik orang yang dighibah dan lain-lainnya.
Rosululloh ﷺ bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab, ‘Alloh dan Rosul-Nya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Ghibah adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu apa yang ia tidak suka (untuk disebutkan).’ Kemudian seseorang bertanya, ‘Bagaimana jika pada saudaraku memang ada yang aku katakan itu, wahai Rosululloh?’ Maka beliau bersabda, ‘Jika pada saudaramu memang ada yang kau katakan itu, maka sungguh engkau telah mengghībahnya. Dan jika pada saudaramu tidak ada apa yang engkau katakan itu, maka sungguh engkau telah menuduhnya dengan dusta (buhtān).” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)
Ghibah adalah dosa besar yang banyak menyebar di tengah masyarakat dan sedikit sekali orang yang selamat darinya. Mendengarkan omongan ghībah juga berdosa, kecuali jika ia segera mengingkari perbuatan ghībah tersebut dengan lisannya dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya. Jika ia dapat meninggalkan majelis tersebut atau memotong omongan ghībah dengan pembicaraan yang lain, maka hal itu wajib dilakukan.
Dalam Islam, ghibah termasuk perbuatan tercela yang diharamkan, karena pelakunya banyak mendapatkan berbagai ancaman, di antaranya:
Pertama, Celaan Rosululloh ﷺ kepada Aisyah. Aisyah rodhiyallohu’anha berkata, “Aku pernah berkata kepada Rosululloh, ‘Cukuplah bagimu dari Shofiyyah itu begini dan begitu (aib).’, maka beliau bersabda: “Sungguh engkau telah mengucapkan satu kalimat yang seandainya dicampur dengan air lautan, niscaya akan mencampurinya (berubah).” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Imam an-Nawawi berkata, “Ini adalah hadits yang paling keras dalam melarang ghibah sepengetahuan saya.”
Kedua, Siksaan bagi orang yang ghibah. Rosululloh ﷺ bersabda, “Ketika dimi’rojkan, saya melewati satu kaum yang memilliki kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka dengan kuku-kuku tersebut, lalu aku berkata, “Siapakah mereka itu wahai Jibril?” Ia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (berbuat ghibah) dan mencemarkan kehormatan manusia.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Ketiga, Ghibah termasuk riba yang paling besar. Rosululloh ﷺ bersabda, “Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar adalah mencemarkan kehormatan seorang Muslim tanpa alasan yang benar.” (HR. Abu Dawud, hadits hasan)
Jika riba adalah dosa besar yang pelakunya diancam akan diperangi oleh Alloh dan Rosul-Nya, maka bagaimana halnya dengan suatu dosa yang lebih besar daripada riba?!
Para ulama telah menjelaskan beberapa terapi mujarab yang bisa dilakukan agar seseorang terhindar dari penyakit ghibah. Adapun terapi yang bisa dilakukan agar terhindar dari ghibah adalah sebagai berikut:
Satu, Hendaknya orang yang mengghibah menyadari bahwa perbuatan ghibahnya akan mendatangkan kebencian, murka serta adzab dari Alloh Ta’ala.
Dua, Sesungguhnya kebaikan orang yang mengghibah akan berpindah kepada orang yang dighibahinya. Dan apabila ia tidak punya kebaikan maka akan dipindahkan kejelekan orang yang dighibahi tersebut kepadanya sebagai timbal balik atas perbuatannya. Seandainya seseorang selalu mengingat akan hal ini, tentu tidak akan mudah dan lancang lisannya berbuat ghibah.
Tiga, Seyogyanya bagi orang yang mau mengghibah berpikir atas kekurangan pada dirinya, kemudian menyibukkan diri dalam memperbaikinya. Dan merasa malu untuk mencela orang lain karena sebenarnya dia sendiri banyak aibnya.
Empat, Apabila aib yang disebutkan pengghibah tidak terdapat pada dirinya, hendaknya dia bersyukur pada Alloh. Bukan malah mengotori dirinya dengan aib yang lebih besar yaitu mengghibah aib orang lain tersebut.
Lima, Hendaknya selalu mengingat ketika dia mengghibahi saudaranya, sebenarnya ia bagaikan seseorang yang memakan daging sesama saudara Muslim sendiri.
Enam, Wajib bagi seorang Muslim yang mengerti untuk membuat para pengghibah terdiam dan tidak meninggalkan mereka sembarangan berkata dari apa yang mereka lihat. Dan wajib pula membantah mereka atas seorang Muslim yang dighibahi oleh mereka.
Tujuh, Senantiasa mengingat ayat-ayat serta hadits yang menyebutkan tentang bahaya ghibah dan keutamaan menjaga lisan.
Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum Muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya), serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi ﷺ ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau ﷺ bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab: mengadukan kezholiman kepada penguasa dan hakim, meminta fatwa, meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan agar kembali kepada kebenaran, memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasehati mereka, menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang terang-terangan berbuat dosa atau bid’ah dan tidak menyebutkan aib yang lain, untuk memperkenalkan jati diri seseorang. Wallohu’alam